PENGADAAN Kartu Tanda Penduduk (KTP)
elektronik sedang berlangsung. Sosialisasi proyek berbiaya Rp5,84
triliun itu terus digalakkan. Salah satu manfaat yang menjadi ‘jualan’
pemerintah adalah, e-KTP akan mampu berkontribusi bagi keamanan
nasional, khususnya dalam menekan ruang gerak para teroris.
Terduga
teroris kerap ditemui dengan banyak identitas palsu. Dengan e-KTP
berbasis Nomor Induk Kependudukan (NIK), identitas palsu diklaim akan
segera dapat diketahui karena tertolak oleh sistem.
Keyakinan tersebut boleh jadi dapat diperdebatkan.
Di era teknologi informasi yang
semakin canggih, data keamanan nasional tingkat tinggi sekalipun
rentan terhadap aktivitas para peretas dan pencuri data. Kasus bocornya
ratusan ribu dokumen rahasia Amerika Serikat (AS) oleh Wikileaks bisa
menjadi contoh.
Namun, pemerintah tetap yakin. Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), sang pemilik proyek, mengklaim e-KTP a la Indonesia tidak akan dapat ditembus serta disalahgunakan. Keyakinan itu mereka wujudkan dengan melibatkan bantuan dari 15 lembaga seperti BIN, BPPT, ITB, dan Lembaga Sandi Negara.
Pertanyaannya kini, bagaimanakah jika penyalahgunaan data e-KTP dilakukan negara?
Satu hal yang mungkin belum menjadi concern publik, dalam kaitan dengan e-KTP, adalah keterlibatan L-1 Identity Solutions sebagai penyuplai perangkat perekam sidik jari atau AFIS (Automated Fingerprint Identification System) dalam proyek e-KTP di Indonesia.
Perhatian publik selama ini tertuju pada dugaan adanya kolusi dan korupsi dalam tender pengadaan e-KTP. Seperti pernah dilaporkan secara khusus oleh sebuah media nasional,
pemenang tender sudah dirancang sedari awal. Sejumlah rapat, yang
dihadiri pihak penawar (yang kemudian menjadi pemenang), sejumlah vendor
(termasuk perwakilan L-1), dan pemilik tender (pemerintah) terjadi
jauh sebelum pemenang tender diumumkan.
L-1 Identity Solutions
TERLEPAS
dari semua itu, ada baiknya kita mencermati keberadaan L-1 dalam
proyek e-KTP (L-1 mengutus seorang Lead Solution Architect ke Indonesia
selama pengadaan e-KTP), bukan dalam konteks kolusi proyek tapi
keamanan nasional.
L-1 Identity Solutions Inc., perusahaan besar dengan nama besar, tapi kredibilitas meragukan. L-1, berbasis di Stamford, Connecticut, AS, adalah salah satu kontraktor pertahanan terbesar.
Perusahaan, yang berdiri pada Agustus 2006, ini mengambil spesialisasi
dalam bidang teknologi identifikasi biometrik (seperti sidik jari,
retina, dan DNA). L-1 juga menyediakan jasa konsultan dalam bidang
intelijen.
Pendapatan L-1 per tahun diperkirakan mencapai angka US$1 miliar pada 2011. Stanford Washington Research Group,
dalam lapoannya, menyebut L-1 sebagai pemimpin pasar internasional
proyek identitas biometrik yang diperkirakan bernilai US$14 miliar
selama periode 2006-2011.
L-1 menebar proyek hingga ke
lebih daripada 25 negara. Di AS, L-1 digandeng Kementerian Luar Negeri
dan Kementerian Keamanan Dalam Negeri dalam proyek visa, paspor, dan
SIM. Sejumlah kalangan menyebut L-1 kian memonopoli bisnis identitas di
AS, dan secara global, apalagi setelah mereka diakuisisi Safran Morpho, perusahaan keamanan multinasional asal Prancis, pada Juli 2011.
Jika melihat siapa di balik L-1, maka kita tak perlu heran melihat prestasi “bebas-hambatan” di atas. Manajemen puncak L-1,
secara khusus, memiliki sejarah hubungan dekat dengan CIA, FBI, dan
organisasi pertahanan AS lainnya. Mereka, pada umumnya, memiliki latar
belakang dan rekam jejak yang seharusnya membuat kita tidak nyaman.
L-1 mencatat nama George Tenet, mantan Direktur CIA, dalam dewan direktur. Pada 2006, CEO L-1 Robert V LaPenta pernah berujar, “Anda tahu, kami tertarik dengan CIA, dan kami memiliki Tenet.” Tenet terkenal berkat kemahiran berdusta. Dia terungkap memberi informasi intelijen palsu kepada diplomat AS soal keberadaan senjata pemusnah massal di Irak, yang kemudian berujung pada invasi Irak 2003.
Ada nama lain, seperti Laksamana James M Loy sebagai direktur.
Karir Loy merentang dari komandan US Cost Guard (1998-2002), wakil
menteri untuk Keamanan Transportasi (2002-2003), dan wakil menteri
keamanan dalam negeri (2003-2005).
Robert S Gelbard,
salah satu anggota dewan direktur, pernah menjabat sebagai Utusan
Khusus Presiden AS untuk Balkan pada masa pemerintahan Bill Clinton.
Yang lebih menarik, mantan wakil menteri luar negeri 1993-1997 itu
pernah bertugas di Indonesia sebagai duta besar pada 1999-2001.
Nama direktur lainnya adalah BG (Buddy) Beck, bekas anggota Dewan Sains Pertahanan (DBS), yang memberi rekomendasi perkara iptek kepada militer AS. Lalu, Milton E Cooper, mantan kepala Dewan Penasehat Sains Nasional, lembaga yang menginduk kepada militer. Dan Louis H Freeh, mantan direktur FBI (1993-2001).
Safran Morpho, pemilik baru L-1 juga tak terlalu ‘bersih’ dalam urusan figur kontroversial. Di sana duduk Michael Chertoff, mantan menteri Keamanan Dalam Negeri AS pada masa pemerintahan George W Bush, sebagai penasehat strategis.
Chertoff adalah salah seorang perancang USA PATRIOT Act, undang-undang
yang menumbuhsuburkan pengawasan dan penyadapan oleh FBI terhadap
telepon, e-mail, dan data pribadi lainnya. Chertoff juga pendukung
maniak pemindaian seluruh tubuh (full body scanning) (teknologi pemindai “full body” yang diterapkan AS mampu
menunjukkan permukaan telanjang kulit di bawah pakaian, termasuk lekuk
payudara dan kemaluan. Bahkan, versi terbaru dilaporkan bisa
menghadirkan image “full color”).
Nama di atas tentu saja tak
bisa secara langsung dihubungkan dengan potensi ancaman e-KTP terhadap
keamanan nasional Indonesia. Namun, kedekatan mereka dengan intelijen
dan militer negara Abang Sam sudah seharusnya menjadi perhatian.
Di AS sendiri, muncul gerakan
publik “Stop Real ID”. Gerakan itu menolak proyek “Real ID” (semacam
e-KTP). Demikian pula di India. Koalisi LSM pemerhati hak sipil
membentuk gerakan yang menolak proyek Unique Identity Number (UID) yang
disebut “Aadhaar”. Gerakan itu mereka sebut “Say No to Aadhaar”. Baik
Real ID di AS maupun Aadhaar di India melibatkan L-1 Identity Solutions
sebagai vendor dan konsultan.
Potensi Ancaman
POTENSI ancaman e-KTP terhadap keamanan nasional, lebih jauh, bisa dilihat dengan memerhatikan indikasi berikut.
Pertama,
adanya upaya untuk secara internasional berbagi data biometrik. AS,
pada khususnya, adalah negara yang bersikeras untuk berbagi data
biometrik dengan negara lain.
Dalam kesaksian di hadapan
Subkomite Keamanan Dalam Negeri DPR AS pada 2009, Kathleen Kraninger
(Deputi Asisten Menteri untuk Kebijakan) dan Robert A Mocny (Direktorat
Perlindungan Nasional US-VISIT) menyatakan sebagai berikut:
“Untuk memastikan bahwa kita mampu menghancurkan jaringan teroris sebelum mereka sampai ke Amerika Serikat, kita harus berada di depan dalam mengendalikan standar biometrik internasional. Dengan mengembangkan sistem yang kompatibel, kita akan mampu berbagi informasi teroris internasional dengan aman demi memperkuat pertahanan kita.”
Dalam sebuah artikel yang ditulis oleh S Magnuson pada 2009 pada majalah “National Defense”, berjudul “Defense Department Under Pressure to Share Biometric Data”, pemerintah AS mengklaim telah memiliki kesepakatan bilateral dengan sekitar 25 negara untuk berbagi data biometrik.
“Setiap kali pemimpin negara lain mengunjungi Washington dalam beberapa tahun terakhir, Kementerian Luar Negeri akan memastikan bahwa mereka menandatangani kesepakatan (berbagi data biometrik) tersebut.”
Washington tampaknya tak hanya
menempuh cara formal. Seperti pernah diungkap dalam kabel diplomatik
AS—yang dibocorkan Wikileaks—Kementerian
Luar Negeri AS menginstruksikan diplomat AS untuk secara rahasia
mengumpulkan identifikasi biometrik para diplomat negara lain.
FBI tak ketinggalan. Seraya mengklaim ingin membuat “dunia lebih aman”, FBI mendesak inisiatif berbagi data biometrik di antara negara-negara.
Kedua,
lemahnya undang-undang terkait pengamanan database kependudukan,
terutama jika memperhatikan upaya berbagi data dengan negara lain.
UU Nomor 23 Tahun 2006
tentang Administrasi Kependudukan sangat minim mengatur isu
perlindungan dan keamanan data. Isu berbagi data dengan negara lain sama
sekali tak diatur. Bahkan, lebih jauh, UU tersebut ‘memberi’ celah
bagi pemegang kekuasaan untuk “mengubah”, “meralat”, dan “menghapus”
tanpa sepengetahuan sang pemilik data, warga negara itu sendiri. Ini
rentan bagi upaya manipulasi data demi kepentingan tertentu.
Aturan turunannya lebih buruk lagi. PP 37/2007
membuka peluang bagi siapa pun, termasuk pihak swasta, untuk
memperoleh dan menggunakan database kependudukan dengan syarat yang
ringan: izin menteri. Di sini lagi-lagi, hak konstitusional
warga negara untuk dilindungi privasinya terganggu. Tak ada satu
klausul pun dalam peraturan itu yang mewajibkan adanya pengetahuan si
pemilik data.
Tekanan negara Abang Sam
terhadap Indonesia untuk berbagi data biometrik sangat mungkin terjadi.
Apalagi mantra “perang melawan teroris” masih terlampau sakti bagi
sebagian besar pejabat Indonesia yang tak punya nyali. Terlebih kata
‘berbagi’ kerap tak berlaku timbali balik, alias sepihak demi
keuntungan negara yang lebih kuat.
Menjual privasi demi keamanan
negara (aman dari teroris, katanya) mungkin bisa dianggap sikap
patriotis seorang warga negara. Namun, seperti dikatakan salah seorang
“founding father” AS, Benjamin Franklin:
“People willing to trade their freedom for temporary security deserve neither and will lose both.”
Anda sedang membaca artikel berjudul

0 komentar:
Posting Komentar
Don't be Spam Maker.!!